Kamis, 17 April 2014

PMII 54 th 1960-2014

Sejarah; Konstruksi Nilai
Perjalanan sejarah PMII yang telah melewati fase-demi fase kesejarahan bangsa, dengan membuktikan eksistensinya dalam rotasi kesejarahan tersebutPMII tidak hanya selalu ada, tetapi juga selalu eksis dengan mewarnai situasi sosial yang menandai kesiapan untuk menjemput masa depan. Dari tahun ketahun PMII senantiasa merefleksikan dirinya secara terus menerus pada arus perubahan–sehingga pertanyaan yang kemudian muncul adalah kita akan hanya berhenti pada situasi reflektif ataukah refleksi tahunan dimaknai dalam konteks uraian nilai sebagai “ruang kesadaran” untuk menata sistem gerak yang lebih fituristik.
Telah banyak kader yang menulis soal sejarah PMII, ini menjadi bukti bahwa secara organisasi PMII “sadar” akan situasinya yang berotasi secara terus-menerus dalam sejarah yang menjadi konstruksi nilai. Sejak 17 april 1960 dimana PMII lahir sebagai bentuk kegelisahan Mahasiswa Nahdatul Ulama yang tergabung dalam (IMANU) dan mahasiswa NU yang berada pada lembaga Perguruan tinggi IPNUterhadap situasi politik kebangsaan dimasa itu (Orde Lama), tidak hanya menjadi peristiwa heroik yang hilang tanpa makna—atau pada fase selanjutnya, lewat deklarasi-deklarasi internal PMII (Deklarasi Moernajati misalnya; Idependensi PMII) yang pada dasarnya lebih menjadi bentuk “pencarian” mainstream gerak organisasi.
Dengan ASWAJA sebagai Manhaj dan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang dimaknai bahwa Islam sebagai keyakinan mutlak seluruh warga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan menempati psosis yang aling tinggi di dalam memberikan tuntunan dalam kehidupan. Aswaja menjadi suatu sistem penghayatan nilai-nilai keislaman_NDP menjadi penerapan dari dua hal sebelumnya yang memungkinkan untuk mewujudkan cita-cita pergerakan.
Pada fase selanjutnya, tepatnya di era 90-an, PMII menetapkan paradigma sebagai cara baca terhadap realitas. Dengan memasukan kerangka teoritis dalam memaknai realitasparadigma di PMII menjadi kekuatan analisis untuk lebih memahami relasi pada berbagai level; lokal, nasional dan internasional. Sekilas sejarah ini, tentulah tidak hanya akan berakhir pada secarik kertas yang tak bermaknatetapi akan lebih menegaskan posisi PMII dalam merajut masa depan bangsa.
Menimbang Pertarungan
Sebagai organisasi dengan basis mahasiswa, memahami medan pertarungan berarti awas dalam mendayung ditengah zaman. Mahasiswa memiliki potensi yang besar, selain memeiliki basis pengetahuan “kelompok masyaratkat intelerktual ini” memegang peranan penting dalam mendorong arus perubahan bangsa. Peristiwa heroik di tahun 1908, 1928, 1945, 1966 dan 1998 menjadi penanda bahwa bangsa ini mengalami perubahan dengan dorongan kuat dari mahasiswa dan generasi muda.
Negeri ini telah menjalani kesejarahannya ditengah rotasi zaman yang terus bergerak. Sebagai kader bangsa PMII dengan basis kemahasiswaanya senantiasa menata diri dalam menguatkan pengetahuan dan kompetensi sebagai upaya menimbang kembali medan pertarunganruang dimana gagasan tersebut akan ditransformasi.
Letak negara kita yang berada ditengah kepungan situasi global, menjadi faktor paling penting dalam memahami kembali “diri” sebagai bentuk refleksi akan tujuan bernegara. Ekspansi investasi global yang “menyerang”negeri iniekspor idiologi politik dan “hegemoni” sosial budaya kita, menjadi ancaman yang mesti didialektikakan kembali, sebagai rangkaian sistematis dalam menghadapi pertarungan.
Salah satu contoh yang paling dekat adalah; perkembangan teknologi informasi yang tidak bisa dielakkan_paling tidak ini telah menjadi kuasa global. Pepatah “dunia tak selebar daun kelor” kini menjadi semakin mengecil dengan pola relasi media informasi yang bisa diakeses dimanapun.Jika perkembangan teknologi informasi ini tidak di “filter” dengan kesadaran yang kuat, maka perlahan-lahan situasi ini akan memutus relasi sosial yang telah melekat dalam nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Realitas ini menjadi bahan analisis kit sebagai kader bangsa untuk memahami situasi di tiga front; ini yang menjadi “aras” kader pergerakan dalam menimbang realitas.
Pertama: Internasionalrealitas global yang sedikit tergambar diatas menjadi catatan penting, karena skenario neoliberalisme mengenai tiga hal; Skenario investasi, Sirkulasi kapital, dan pasar bebas, telah berubah menjadi hasrat penaklukan negara-negara “inti”. Ini diperparah dengan eksport idiologi dan hegemoni ssosial-budaya yang bahkan terjadi diluar kesadaran kita.
Kita bukn menjadikan situasi reflektif menjadi pasif, karena “skenario” globalisasi tidak akan pernah berhenti menggerus kesadaran manusia. Sebagai elemen pergerakan menguatkan Kompetensi agara siap “tarung” adlah hal mutlak, karena perjalnan sejarah bangsa ini, senantiasa dililit oleh bergam persoalan—ini semakin jelas ketika investasi internasional menjamur di negeri kita yang “kaya”.
Kedua: Nasionaltransisi demokrasi yang dilewati bangsa indonesia yang dijalani pasca 1998, meniupkan segarnya angin demokrasi. Tetapi lagi-lagi kita disibukkan dengan problem dalam negeri yang tidak pernah berhenti; kemiskinan, kesejahteraan, konflik horizontal sesama anak bangsa sampai pada fenomena korupsi dan makelar kasus (markus) yang begitu mencuat di publik.
Mengurai persoalan nasional berarti, berusaha memahami realitas dengan beragam pendekatan–mendekatkan realitas nasional dengan mengurai problem keindonesiaan sama artinya dengan menegaskan makna “kita” sebagai bangsa. Sehingga sebagai kaum pergerakan, nalar kita tidak berhenti pada refleksi_tetapi menguatkan pemahaman dan mentansformasinya di medan pertrungan.
KetigaLokal_oligarki politik lokal yang menegaskan kekuatan “kelompok” tertentu sebagai kekuatn dominasi terhadp masyarakat di daerah dlh problem, meski ini hanya terjadi di beberapa locus, tetapi paling tidak sebagai anak bangsa penting melakukan pengawalan—dalam konteks pembelajaran kepada masyarakat mengenai makna “kebebasan” dan tetap melakukan pengawalan terhadp trnsisi kepemimpinan lokal tanp terjebak dalam pragmatisme.
Lokalitas yng memiliki akar sejarah dan basis kultural “sendiri” –ini adalah rumah atau benteng yang menjadi basis pertahanan tradisi. Tradisi yang menyiratkan makna nilai, rentan dengan hegemoni dan bahkan gerusan dari developmentalisme. Kaum pergerakan dengan basis mahasiswa, mesti tetap melakukan pengawalan dengan situasi ini. Internasonal, Nasional dan Lokal tidak menjadi makn yang tercerai berai—karena dia menjadi satu kekuatan utuh, yang mesti dipahami keutuhannya. Globalisasi menjadi kuasa” yang bahkan melampaui negara, Jika kader pergerakan tidak siap pada situasi negara, berarti membiarkan bangsa Indonesia menjadi “Cerita yang ditelan sejarahnnya sendiri”.
Menjemput Masa Depan
Sebagai sebuah organisasi PMIItentunya tidak lepas problem_dedikasi yang telah ditorehkan dalam kesejarahan bukan menjadi akhir dari fase perjuangan. Di tahun 2014; diusia 54 tahun. Dengan merefleksikan kembali makna dari tujuan PMII, secara organisasi PMII akan terus berupaya menciptakan gerakan baru—orientasi baru untuk perubahan generasi adalah keinginan kuat organisasi untuk menjemput masa depan.
PMII adalah simbol peradaban, Menguatkan gagasan, Mengasah basis kompetensi, mempertegas orientasi gerakan, mengukuhkan kolektifitas, dan merebut medan gerakan adalah penting karena pertarungan masa depan yang lebih kompetitif membutuhkan generasi yang siap”. Pada titik inilah gagasan PMII akan membentuk kesadaran akan national character bulding dan mengelola diri untuk senantiasa menjadi pelopor dan pemimpin dalam menghadapi pergesaran zaman.
Pada Harlah PMII yang ke 54, bertepatan dengan momentum tahun politik, Pemilihan Legeslatif dan Pemilihan Presiden, semoga PMII dapat berkontribusi secaramaksimal dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia.
Selamat Harlah PMII ke 54
Kun ibna zamanika
(jadilan anak zamanmu)

0 komentar:

Posting Komentar